Menjauhi Ghibah dan Fitnah dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak lepas dari interaksi sosial. Namun, di balik percakapan dan pergaulan, seringkali tersembunyi bahaya yang tak kasat mata: ghibah dan fitnah. Dua perkara ini bukan hanya merusak hubungan antar manusia, tetapi juga sangat dibenci oleh Allah SWT dan termasuk dosa besar dalam Islam. Menjauhinya bukan perkara mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan dengan kesadaran, ilmu, dan komitmen.
Memahami Makna Ghibah dan Fitnah
Ghibah secara sederhana diartikan sebagai membicarakan saudara Muslim kita dengan sesuatu yang tidak disukainya, walaupun hal itu benar adanya. Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasulullah kemudian bersabda, “Engkau menyebutkan tentang saudaramu sesuatu yang dia tidak suka.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu memang benar ada padanya?” Rasulullah menjawab, “Jika memang benar, maka engkau telah mengghibahinya. Jika tidak, maka engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Fitnah bahkan lebih berat dari sekadar ghibah. Ia berarti menyebarkan kebohongan, tuduhan tanpa bukti, atau berita yang merusak nama baik seseorang. Fitnah dalam Islam dipandang sangat berbahaya karena dapat menghancurkan kehidupan, memecah belah umat, dan memicu permusuhan berkepanjangan.
Dampak Sosial dan Spiritual
Ghibah dan fitnah tidak hanya merusak hubungan antar individu, tetapi juga menggerogoti kehidupan bermasyarakat. Dari keluarga, lingkungan kerja, hingga komunitas, semua bisa hancur hanya karena ucapan yang tidak dijaga. Kepercayaan runtuh, persaudaraan tercabik, dan suasana hati yang penuh curiga pun tercipta. Lebih buruk lagi, ghibah dan fitnah bisa menyebar dengan cepat melalui media sosial, memperluas kerusakan yang ditimbulkan.
Secara spiritual, keduanya menyebabkan noda hitam dalam hati, menjauhkan pelakunya dari rahmat Allah, dan menghapus amal-amal kebaikan yang telah susah payah dilakukan. Al-Qur’an menggambarkan ghibah sebagai memakan daging saudara sendiri yang telah mati – sebuah gambaran yang sangat menjijikkan dan mengguncang hati siapa saja yang merenungkannya.
Upaya Menjauhinya
Menjauhi ghibah dan fitnah memerlukan latihan dan kesadaran diri. Pertama-tama, kita harus melatih lidah untuk menahan diri dari komentar yang tidak bermanfaat. Jika suatu pembicaraan mulai mengarah pada pembicaraan orang lain, lebih baik diam atau mengalihkan topik. Allah SWT memuji mereka yang mampu menahan diri dari hal-hal yang tidak berguna.
Selain itu, penting untuk menjaga lingkungan pergaulan. Berkumpul dengan orang-orang yang terbiasa menjaga lisan akan membantu kita terbiasa dengan sikap hati-hati. Ketika melihat atau mendengar orang lain sedang menggibah, kita tidak boleh ikut serta. Jika memungkinkan, kita mengingatkan dengan bijak atau memilih untuk meninggalkan pembicaraan tersebut.
Di samping itu, kita juga perlu melatih hati agar tidak mudah menghakimi. Ghibah dan fitnah sering lahir dari rasa dengki, curiga berlebihan, atau ketidaksukaan pribadi. Maka, menanamkan rasa kasih sayang dan husnuzan (berbaik sangka) kepada sesama akan menjadi benteng batin yang kokoh dari perbuatan buruk tersebut.
Menjaga Lisan, Menjaga Iman
Ghibah dan fitnah adalah dosa yang banyak diremehkan, padahal akibatnya sangat besar di dunia maupun akhirat. Dalam Islam, menjaga lisan adalah bagian penting dari menjaga keseluruhan amal. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (mulut) dan apa yang ada di antara dua kakinya, maka aku jamin baginya surga.” (HR. Bukhari)
Dengan senantiasa menjaga ucapan, berhati-hati dalam menyampaikan berita, serta melatih diri untuk selalu berkata baik atau diam, kita telah melangkah dalam jalan yang dicintai Allah. Jalan yang mungkin tidak selalu mudah, tetapi pasti membuahkan kedamaian dalam hati dan keselamatan di akhirat kelak.